Selasa, 15 Oktober 2013

Pertemuan Saya dengan Rosita di Rumah Sakit Jiwa

Malam itu adalah malam festival puisi di Taman Budaya Sumatera Barat. Perasaan saya turun naik seperti emosi perempuan yang kadang ramah kadang cemberut. Berkali kali saya coba menghibur diri, tapi selalu gagal. Saya mencoba menebak apa sebabnya. Tapi saya selalu tidak berhasil.

Bersama seorang teman yang saya lupa namanya, saya katakan: “Saya ini sedang kurang enak badan. Jadi saya tidak akan pergi menonton festival puisi.” Dia memaklumi jawaban saya. Akhirnya saya kembali berdiam diri dalam kamar. Malam itu saya matikan semua lampu. Bahkan lampu HP pun juga saya matikan. Tujuan saya agar sempurna rasa sedih yang membungkam diri saya.

Dalam keadaan hitam gelap itulah saya membayangkan Rosita.
Saya pertama kali bertemu dengan Rosita di Facebook. Saat itu, dia mengintip saya di inbox. “Halo mas Revo. Senang sekali berteman dengan anda.” Saya heran. Bagaimana bisa dia senang berteman dengan saya. Padahal saya bukan orang biasa. Hanya seorang penderita sakit jiwa yang frustasi. Frustasi karena penyakit saya tidak kunjung sembuh. Akhirnya saya mencoba membujuk diri dengan online sepanjang waktu.

Itu sebabnya saya menuduh Rosita berbohong dengan pujiannya. “Kamu jangan bercanda Rosita.” Diluar dugaan saya, dia malah menangis. Membayangkan matanya yang berkaca-kaca, saya jadi terharu. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Akhirnya saya mencium layar monitor laptop saya. Lalu dalam hati saya katakan: “Tenang Rosita. Kesedihanmu belum seberapa dibanding kesedihan saya”.

Sejak saat itulah saya sering memikirkan Rosita.
Akibatnya, saya melupakan perasaan saya sendiri. Yang saya pikirkan, bagaimana cara menghibur Rosita. Sehingga di malam berikutnya, saya kembali menemuinya di Facebook. Lewat inbox, saya bertanya: “Rosita, sebenarnya apa yang membuatmu sedih?”

“Aku tersinggung mas Revo”
“Tersinggung? Siapa yang menyinggungmu Rosita?”
“Kamu sendiri. Bertanya lagi”
“Lho?”
“Iya, kamu!”
“Lho kamu jangan emosi Rosita. Nanti kamu bisa pusing sendiri”
“Bagaimana saya tidak emosi. Pengakuan saya kamu tolak Revo”
“Saya bukan menolak Rosita. Saya cuma meragukan pengakuanmu”
“Idiih .. “
“Hei Rosita! Saya ini bukan pacar kamu!”
“Ya ampuun ... mas Revo”
“Saya peringatkan kamu Rosita. Kita baru kenal”
“Iya aku tahu mas”
“Terus kenapa kamu terus melaju?”

Karena tidak tahan mendengar rintihan Rosita,
Akhirnya khayalan itu saya hentikan. Lalu saya menghidupkan lampu kamar. Entah apa sebabnya tidak jelas, tangan saya kemudian menarik selembar kertas. Lalu saya tulis semua angan-angan yang sempat melintas itu dengan tergesa-gesa. Dan tanpa saya sadari kemudian, tahu tahu tulisan ini akhirnya selesai.

Revo Samantha



Tidak ada komentar:

Posting Komentar