Jumat, 15 November 2013

Sebab Akhirnya Saya Meninggalkan Plato dan Tuhan

Kekaguman saya pada Plato,
Seiring dengan keimanan saya pada Allah yang begitu dalam
Itu terjadi di fase asketik saya,
Di fase yang saya puja dan saya rindu tiada lain selain Allah
Di fase ekstase bathin Illahiah benar benar menghabisi segala keriangan dan ambisi saya terhadap dunia.

Saat itu
Saya begitu tergila gila pada Taman Firdaus di seberang sana
Yang dalam sabda Plato adalah dunia bayangan
Dunia yang dia klaim sebagai Realitas yang sebenarnya
Yang bukan merupakan dunia yang saya huni di muka bumi
Tapi dunia lain, dunia yang tak terbayangkan
Hingga praksis saat itu,
Saya menolak segala yang ada sebagai hanya maya

Tapi setelah berkenalan dengan Marx dan Nietzsche
Langit kesadaran Illahiah Paltonisme saya runtuh total
Ambruk hingga rata dengan tanah

Di mata Marx,
Saya dianggap hanya seorang budak yang merintih
Saya dianggapnya sebagai sampah sosial
Yang tidak memberi sumbangsih apa-apa terhadap kehidupan kongkrit di muka bumi. Sedang dia bersabda, bahwa kehidupan tidak bisa diubah dengan doa-doa. Tapi dengan kaki. Kaki yang menginjak Realitas. Bukan kepala yang mendongak ke pintu langit. Di menampar saya sejadi jadinya. Bahwa iman saya harus dijungkirbalik. Dari kepala menuju kaki. Teologi yang saya peluk sebelumnya, harus dibakar menjadi Kosmologi materialisme.

Saya gamang.
Saya lari.
Saya berwuduk
Lalu istigfar sambil terengah engah: “ .... Ya Allah!”

Sekian waktu berlalu
Dalam keterlunta-luntaan simbolik yang mencekam
Saya kesasar pada Nietzsche
Saya pikir dia akan meredakan tangis pencarian saya
Tapi apa yang saya temukan?
Keparaaaat ....!
Dia menghajar saya tanpa ampun
Dia katakan saya tolol

Saya hanya budak lemah
Yang tidak berani untuk benar benar hidup
Saya katakan saya butuh jembatan pencerahan
Tapi dia suruh untuk meruntuhkannya
Saya katakan saya butuh Allah sebagai penuntun hidup
Tapi dia suruh bunuh

Mendadak perut saya mual
Betapa mengerikan hidup tanpa Allah
Hidup tanpa kompas
Saya tak sanggup membayangkannya
Dunia tiba tiba terasa berputar kencang
Saya tak sanggup menghentikan
Tanpa kendali mendadak saya tersungkur di lantai
Muntah hingga berkali kali
Saya berlari mengambil wuduk
Lalu bersimpuh pucat di sajadah
Lagi lagi saya menangis
“Ampuni imajinasi hamba ya Allah ....”

Cukup ....
Saya tak sanggup mengenang detailnya

Beberapa tahun kemudian
Waktu juga membuktikan segalanya
Tamparan dan pulukan Marx dan Nietzcshe semakin lantang mengusik malam-malam pencarian saya. Hingga sampailah di suatu masa. Dimana saya tak sanggup lagi untuk berbuat apa-apa. Kecuali hanya mengurung diri dalam khawat sunyi yang semakin menggigil. Hingga saya tak sanggup lagi hanya untuk sekedar tertawa lepas dengan siapapun. Hingga segalanya menjadi tampak gelap. Sebuah hitam yang tak pernah terjawab.

Maka disaat itulah saya muak secara eksistensialis
Saya melemparkan sajadah
Saya bangkit dan berlari tanpa arah tanpa tujuan
Lalu berteriak lantang

“Persetaaaan ....... !
Plato. Allah. Persetan kalian.
Inikah yang kalian katakan sebagai hidup?
Mana dunia suci yang kalian janjikan?
Nanti disuatu masa?
Saya ingin hidup hari ini”

***

Itulah pertama kali energi hidup kembali bergelora dalam diri saya
Setelah bertahun tahun dilumpuhkan tak berdaya
Saat itulah saya sadar
Ternyata untuk membunuh Allah, sekaligus saya harus membunuh Plato
Karena Plato-lah yang harus bertanggung jawab atas dikotomi oposisi binner metafisik dalam kesadaran saya. Dimana Realitas yang sebenarnya, bukanlah apa yang terlihat dan dialami hari ini dalam kekiniannya. Tapi adalah dunia lain dibalik Realitas. Angan-angan metafisik itulah yang sudah sekian lama membelenggu kesadaran kongkrit saya menjadi kesadaran angan angan imajiner hingga bertahun tahun. Yang telah melumpuhkan syahwat realistis saya sebagai mahkluk kongkrit dimuka bumi yang jelas jelas juga bermukim di medan kongkrit.

Selamat tinggal Plato
Terima kasih Marx
Selamat datang Nietzsche

Revo Samantha
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar