Jumat, 22 November 2013

Fiksi Itu Bukan untuk Orang Waras

Saya pernah kaget membaca puisi tersingkat karya Sitor Situmorang. Judulnya adalah Bulan Diatas Kuburan. Sedang isinya juga hanya satu baris. Yaitu: “bulan diatas kuburan.”

Saya terkesima. Tapi bingung. Apa maksudnya? Kenapa penyair ini mengada-ada? Bagaimana mungkin Bulan berada diatas kuburan. Logika saya macet.

Lalu saya membaca tulisannya yang berjudul Usaha Rekonstruksi yang Dirundung Ragu (Proses Sajak). Disitu dia jelaskan riwayat munculnya puisi singkat itu. Ia tuliskan, dia terperosok di sebuah kampung sepulang dari rumah Pramodya Ananta Tour. Saat itu malam. Ada bulan. Banyak pepohonan. Disekelilingnya ada Tembok.

Sitor penasaran. Ada apa dibalik tembok. Akhirnya dia mendekat dan memanjat tembok itu. Ternyata dibalik tembok itu dia melihat beragam kuburan dari batu. Dan batu itu ditimpa sinar bulan. Memantul begitu unik. Sitor terpesona. Kesan cahaya itu seakan menyihirnya. Hingga lama kesan itu tersimpan. Mengusik sepanjang perjalanannya menuju pulang. Dan akhirnya, sampai di rumah, kesan itu langsung direkam dalam puisinya. Maka lahirlah:

“Bulan diatas kuburan”

Saya mengangguk-ngangguk. Tanpa kata. Tapi saya merasakan sesuatu. Sebuah pemahaman, sebuah kesadaran puitis dari kisah Sitor. Bahwa puisi bukanlah kata-kata. Tapi adalah ekspresi. Rekaman kesan dan ungkapan yang paling murni dalam diri manusia. Sedang kata-kata tak cukup untuk menampungnya. Sedang konvensi bahasa, gramatika dan segala aturan baku tata bahasa tak sanggup melukiskannya. Maka tak ada pilihan, disaat itulah kata menjadi tunggangan bagi para penyair. Mereka membebaskan diri dari belenggu kata. Karena mereka menulis dengan makna.

Sejak saat itu, sastra pun bemukim di laci kesadaran saya.
Bahwa sastra, adalah natur manusia.

Sejak saat itu, sadarlah saya,
Kenapa banyak orang tua menggunakan kalimat sindiran pada anaknya
Kenapa pepatah adat banyak mengandung kata-kata simbolis

Dan sejak saat itu sadarlah saya,
Kenapa Kitab Suci ditulis dengan kalimat sastra.
Teryata para Nabi, para Spiritualis juga seorang penyair.



Arsip 23 Mei 2011
Revo Samantha
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar