Rabu, 26 Juni 2013

Cara Goblok Memahami Filsafat Diam Siddharta

Diam, hening Siddharta
Seringkali dipahami sebagai tutup mulut secara harfiah
Lalu itu dibathinkan sebagai sebuah kemuliaan
Ini tidak ada bedanya dengan jargon:
“Diam itu adalah emas”
Pelaku kemana-mana memasang gembok di bibirnya.

Itu juga sama dengan malpraktek penafsiran terhadap sabar
Sabar, diartikan sebagai sikap pasif.
Sabar menjadi bathinisasi atas kemalasan dan ketidakberdayaan.

Dalam penafsiran saya,
Sabar itu adalah sebuah pertarungan bathin
Diantara 2 tegangan yang paradoks
Dunia dalam, dua sisi mata uang dengan dunia luar
Diluar, segala aksi tetap dilakukan
Sedang didalam, tidak terusik oleh segala carut marut perjuangan
Dengan kata lain
Sabar adalah sikap bathin tanpa keluh kesah
Meski tangan dan kaki, penuh nanah berlumuran darah dalam pendakian

Begitu juga dengan filsafat diam Siddharta
Diam, adalah sebuah perjalanan kembali setelah jauh berpetualang
Dia, adalah awal dari akhir
Bukan sesuatu yang dibathinkan sebelum mulai
Bukan sebuah malas dan bodoh yang dikunci sebagai sebuah kemuliaan
Tapi adalah,
Sebuah pengakuan jujur atas ketidakberdayaan manusia dalam memahami Realitas Absolut
Tentang dunia lain di angan-angan metafisik
Tentang segala sesuatu dibalik segala yang tampak
Karena telah disadari,
Bahwa semua itu, hanya sebuah spekulasi intelektual yang tidak menjawab apa-apa
Sehingga diujung segala pencarian ke langit ketujuh
Bukan sebuah perjumpaan dengan dunia lain
Tapi adalah perjumpaan dengan keterbatasan diri secara mendalam

Disaat itulah “diam” menyapu segala kesombongan manusia secara intelektual dan emosional
Menjadi hening tanpa istilah

Revo Sanjaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar